TIMES TANAH ABANG, JAKARTA – Interaksi sosial manusia kini tak lagi bergantung pada kontak fisik. Media sosial, forum daring, dan berbagai platform virtual telah menjadi ruang publik baru tempat agama tidak hanya berfungsi sebagai pedoman moral dan spiritual, tetapi juga sebagai medium menegaskan identitas.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana moderasi beragama yang dalam perspektif Islam diartikulasikan melalui prinsip wasatiyyah (keseimbangan) dapat dipertahankan ketika agama juga menjadi tontonan sosial dan performatif di ruang digital?
Erving Goffman, melalui teori dramaturginya, menegaskan bahwa kehidupan sosial ibarat panggung di mana setiap individu memainkan peran tertentu untuk membentuk impresi di hadapan audiens. Setiap unggahan, komentar, atau interaksi daring menjadi frontstage, tempat seseorang menegaskan citra religius, moral, bahkan moderat.
Dalam pandangan Islam, kesalehan tidak cukup ditampilkan; ia harus dihidupi. Moderasi beragama menuntut keselarasan antara representasi publik dan internalisasi nilai dalam kehidupan nyata.
Ruang digital kini menjadi social stage baru bagi ekspresi keagamaan. Identitas religius ditampilkan melalui simbol, narasi, dan interaksi sosial. Fenomena performative religiosity yakni menegaskan identitas moderat melalui citra digital menjadi penting dibaca secara kritis.
Goffman membedakan antara frontstage dan backstage: yang pertama adalah ruang publik tempat seseorang menampilkan diri sesuai ekspektasi sosial, sedangkan yang kedua merupakan ruang privat tempat refleksi dan kejujuran diri berlangsung.
Dalam konteks moderasi beragama, frontstage muncul di media sosial sebagai unggahan narasi toleransi, sedangkan backstage mencerminkan internalisasi nilai Islam yang menuntun perilaku sehari-hari.
Masalah muncul ketika keseimbangan itu hilang. Moderasi yang ditampilkan di ruang publik kerap berhenti sebagai simbol, bukan nilai hidup. Akibatnya, moderasi kehilangan daya ubah sosial dan menjadi sekadar citra moral yang indah namun hampa makna.
Di Indonesia, moderasi beragama kerap dipahami secara seremonial. Ia hidup dalam bentuk kampanye digital, konten inspiratif, dan slogan-slogan toleransi. Namun substansi nilai wasatiyyah sering tidak terinternalisasi dalam praktik keseharian. Toleransi kerap berhenti di ruang homogen: hanya dengan kelompok seagama, sekomunitas, atau dalam forum formal yang penuh basa-basi.
Ketegangan antara performansi dan substansi ini nyata. Moderasi tampil megah di media sosial, tetapi di dunia nyata sering berhadapan dengan ujaran kebencian, polarisasi politik identitas, dan rendahnya empati sosial. Dalam banyak kasus, simbol-simbol toleransi tidak berujung pada praktik sosial yang inklusif, melainkan berhenti pada pencitraan.
Toleransi yang hanya bersandar pada narasi digital adalah toleransi semu terlihat damai, tetapi rapuh ketika diuji realitas. Foto bersama lintas agama, video kampanye perdamaian, atau pertemuan antarumat beragama tidak otomatis mencerminkan nilai wasatiyyah yang sejati. Nilai ini menuntut keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab moral dalam tindakan nyata, bukan sekadar visualisasi di layar ponsel.
Tantangan terbesar kita hari ini adalah menjadikan moderasi beragama bukan sebagai proyek citra, melainkan proses transformasi sosial dan spiritual yang berkesinambungan. Moderasi harus menembus ruang digital dan hadir dalam perilaku sehari-hari di rumah, sekolah, tempat kerja, bahkan dalam keputusan-keputusan sosial-politik.
Ruang digital memang tak bisa dihindari, tetapi harus diarahkan menjadi wahana pendidikan nilai, bukan arena kompetisi kesalehan. Literasi digital berbasis nilai keagamaan moderat perlu dikembangkan: bagaimana beragama tanpa menyingkirkan, berdakwah tanpa menyalahkan, berdialog tanpa menghakimi.
Islam mengajarkan bahwa kemuliaan manusia tidak terletak pada citra, tetapi pada amal dan niat. Maka, moderasi beragama sejatinya bukan tentang seberapa toleran kita terlihat di dunia maya, tetapi seberapa jauh kita hidup dalam keseimbangan, keadilan, dan kasih sayang di dunia nyata.
Ketika performa dan substansi berjalan seiring antara frontstage dan backstage saling menyatu moderasi beragama akan menjadi kekuatan autentik yang memperkokoh kohesi sosial, memperluas ruang empati, dan meneguhkan kemanusiaan. Di sanalah nilai wasatiyyah menemukan bentuk paling sejatinya: bukan slogan, melainkan peradaban.
***
*) Oleh : Ali Alatas, S.Sos., M.Sc., Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Jakarta Utara.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Moderasi Beragama di Ruang Digital
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |